Rabu, 26 November 2008

PEMILIHAN PRESIDEN

BAB I
PEMILIHAN PRESIDEN

Pemilihan presiden adalah merupakan sarana politik untuk mewujudkan kehendak rakyat kepada negara dalam sistem demokrasi Pancasila yaitu melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Rakyat sebagai pemegang kedaulatan berhak warna dan bentuk pemerintahan serta tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dengan demikian, MPR merupakan penjelmaan rakyat sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi.
Pemilihan Umum bagi suatu negara demokratis sangat penting artinya untuk menyalurkan kehendak asasi politiknya, antara lain sebagai berikut:
a. Untuk mendukung atau mengubah personil dalam lembaga legislatif.
b. Adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka waktu tertentu.
c. Rakyat (melalui perwakilan) secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif.

I. LANDASAN HUKUM
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia selama Orde Baru berkuasa didasarkan pada landasan berikut:
a. Landasan Idiil, yaitu Pancasila Sila ke-2 (dua).
b. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 yang termuat di dalam:
Pembukaan alinea keempat.
Batang tubuh Pasal 1 Ayat 2.
Penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara.
c. Landasan Operasional, yaitu GBHN yang berupa ketetapan MPRS/MPR, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

II. ASAS DAN TUJUAN PEMILU
A. Asas
Asas yang digunakan dalam Pemilu adalah LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia) berdasarkan UU No. 15/1969, jo. UU No. 14/1975, jo. UU No. 1/1985.
1. Asas Langsung, berarti setiap pemilih secara langsung memberikan suaranya tanpa perantara dan tingkatan.
2. Asas Umum, berarti Pemilu itu berlaku menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan.
3. Asas Bebas, berarti warga negara yang berhak memilih dapat menggunakan haknya dan dijamin keamanannya melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, dan paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
4. Asas Rahasia, berarti setiap pemilih dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya.

B. Tujuan Pemilu
Secara umum, Pemilu memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Melaksanakan kedaulatan rakyat.
b. Sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat.
c. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat.
d. Melaksanakan pergantian personil pemerintahan secara damai, aman, dan tertib (melalui konstitusional).
e. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

III. PENYELENGGARAAN PEMILU
Penyelenggaraan pemilu yang menjadi tanggung jawab pemerintah harus mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan dan gotong-royong.
Setiap warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan Pemilu, mempunyai hak aktif maupun hak pasif.
Hak pilih aktif adalah hak setiap warga negara yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk memilih anggota-anggota yang akan duduk dalam suatu badan perwakilan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1. Telah berusia 17 tahun/sudah kawin.
2. Terdaftar oleh Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih).
3. Bukan anggota PKI atau ormas-ormasnya.
4. Tidak terlibat langsung/tidak langsung G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
5. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
6. Tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan.
7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi.
Hak pilih pasif adalah hak setiap warga negara yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat dipilih menjadi anggota dari suatu badan perwakilan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. WNI yang berusia 21 tahun ke atas serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Dapat berbahasa Indonesia dan serendah-rendahnya tamat SLTP atau yang sederajat dan berpengalaman dalam bidang kemasyarakatan/ kenegaraan.
3. Setia kepada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, pada Proklamasi 1945, UUD 1945, dan Revolusi Kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat.
4. Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya.
5. Bukan seseorang yang terlibat langsung/tidak langsung dalam Gerakan “Kontra Revolusi” G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.
6. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya.
7. Tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan.
8. Sedang tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang tidak dapat diubah lagi.
9. Terdaftar dalam daftara pemilih oleh Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih).
10. Dicalonkan oleh organisasi politik peserta Pemilu.

A. PENYELENGGARAAN PEMILU PRA ORDE BARU
Pemilu pertama di Indonesia diselenggarakan pada sistim pemerintahan nagara berdasarkan Demokrasi Parlementer dengan konstitusi UUD Sementara 1950. Dalam Pasal 35, jo. Pasal 57, jo. Pasal 135 Ayat (2) UUD Sementara 1950 menyebutkan tentang perlunya Undang-Undang dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Untuk Pemilu pertama dikeluarkan UU No. 7/1953 dan dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah No. 9/1954 yang diselenggarakan secara langsung dengan sistim perwakilan berimbang (proporsional) untuk memilih anggota parlemen dan konstituante.
Program penyelenggaraan Pemilu sudah dicanangkan pada masa Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951), akan tetapi Pemilu baru terlaksana pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956). Pelaksanaan Pemilu pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR) dan kedua tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.

B. PENYELENGGARAAN PEMILU ERA ORDE BARU
Orde Baru lahir dengan tekad ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam bidang ketatanegaraan, banyak ditempuh upaya-upaya konstitusional untuk menyelesaikan kehidupan politik kenegaraan serta produk peraturan perundang-undangan yang tidak sejiwa dan senapas dengan Pancasila dan UUD 1945.
Penyelenggaraan Pemilu selama Orde Baru telah berlangsung selama 5 (lima) kali, yaitu:
1) Pemilu Pertama
Dilaksanakan tanggal 3 Juli 1971 dengan Sistem Gabungan. Dengan landasan operasional : Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968 (Perubahan dari Tap MPRS No. XI/MPRS/1966; UU No. 15/1969; UU No. 16/1969).
Organisasi peserta Pemilu terdiri dari : Partai Katolik, PSII, NU, Parmusi, Golkar, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI.



2) Pemilu Kedua
Dilaksanakan tanggal 4 Mei 1977 dengan sistem gabungan. Landasan operasionalnya: Tap MPR No. VIII/MPR/1973; UU No. 4/1975; UU No. 5/1975. Organisasi peserta Pemilu: PPP, Golkar, dan PDI.
3) Pemilu Ketiga
Dilaksanakan tanggal 2 Mei 1982. Landasan operasionalnya: Tap MPR No. VII/MPR/1978; UU No. 2/1980; UU No. 3/1980. Organisasi peserta Pemilu: PPP, Golkar, dan PDI.
4) Pemilu Keempat
Dilaksanakan tanggal 23 April 1987 dengan sistem gabungan. Landasan operasionalnya: Tap MPR No. III/MPR/1983; UU No. 1/1985 dan Kepres No. 70/1985. Organisasi peserta Pemilu: PPP, Golkar, dan PDI.
5) Pemilu Kelima
Dilaksanakan tanggal 6 Juni 1992 dengan sistem gabungan. Landasan operasionalnya: Tap MPR No. II/MPR/1988; UU No. 1/1985; PP No. 37/1990. Organisasi peserta Pemilu: PPP, Golkar, dan PDI.


BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM KREDO ISLAM

Rakyat Indonesia sudah merasa lega terbebas dari beban politik yang cukup menegangkan urat syaraf dalam pemilihan wakil-wakil calon legislatif. Namun bulan ini akan dihadapkan kembali kepada kredo politik pemilihan presiden dan wakil presiden, yang diharapkan benar oleh seluruh rakyat.
Kredo politik dalam Islam sesungguhnya yang terjadi adalah bersih. Kemudian oleh faham sekularisme sering diartikan sebagai ulah pikiran kotor, ulah permainan akrobatik menyerimpung sana sini dengan menyembunyikan nafsu licik. Karena itu jika kredo politik dihayati sebagai suatu sistem untuk mencapai kemenangan vestedinterest maupun kepentingan golongan selamanya menjadi kotor.
Banyak kalangan ulama berpendapat, politik, urusan duniawiyah, kurang ada urusannya dengan takaran ukhrowiyah, sehingga aktivitas pengembangannya tidak memerlukan tegaknya kualitas moral agama. Sebuah urusan politik seringkali mengesampingkan aspek kemanusiaan.
Konteksnya dengan dunia Islam, bahwa kredo politik dalam sejarahnya pada zaman kekhalifahan Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah. Dari kacamata moral yang terjadi membuktikan bahwa Alilah yang lebih punya “hak” memperoleh kemenangan. Namun dari segi politik (kotor) Mu’awiyahlah yang semena-mena merebut kemenangan itu.
Ali berkata pada pengikutnya dengan nada getir bahwa perlawanan yang dilakukan Mu’awiyah tampak kuat. Musuh-musuhmu (pengikut Mu’awiyah) akan mengalahkanmu, karena mereka bersatu dalam kesesatannya, sedangkan kamu terpecah belah dalam kebenaran. Karena itu mereka menaati kepla negaranya walaupun berada dalam pengkhianatan kezaliman.
Yang dimaksud Ali merupakan sindiran sekaligus dorongan moral dan ketetapan batin seseorang atau kelompok untuk terus menjalankan proses perjuangan guna mencapai apa yang mereka cita-citakan, yakni kekuatan Islam yang kaffah. Ungkapan tersebut telah menjadi fakta sejarah, bahwa Ali lebih taat pada nilai “moral” dalam arti pembinaan akhlak. Sedangkan Mu’awiyah lebih bergerak dengan menerobos berbagai cara untuk merebut kekuasaan. Itulah politik duniawiyah dalam kacamata Islam yang dikategorikan kotor.
Sementara itu, Rosulullah SAW dalam kepemimpinan sangat menghargai etika politik profesional (bersih) dari kesewenang-wenangan berebut kekuasaan. Artinya etika politik profesional itu memiliki tata krama kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban, baik dalam menghadapi musuh (kafir) maupun dalam menghadapi kaum minoritas.
Etika politik profesional tersebut dalam perjuangan sering dikalahkan oleh kredo sekularitas yang terus menerus mendesak (intervensi) memperebutkan kekuasaan memenangkan kepentingan golongan, dengan menerobos berbagai cara, yang haram dikatakan halal, yang halal dikatakan haram. Intinya, dengan membolak-balikkan kebenaran. Bertolak dari gambaran di atas kita menyadari yang terjadi di tanah air maka pemimpin mendatang haruslah orang yang taat dalam menjalankan syari’at agamanya, yang piawai melaksanakan tuntutan rakyat, yang mumpuni berjuang mensejahterakan kehidupan rakyat, mumpuni melindungi hak milik rakyat, serta mumpuni dalam membela kepentingan keadilan dan kebenaran rakyat.
Dengan demikian, maka kredo politik Islam akan berjalan lurus dan terpadu menjadi bagian integral dari seluruh kepentingan hidup yang kaffah. Karena itu, presiden dan wakil presiden nanti sudah pasti figur yang benar-benar beriman dan bertakwa, sehingga setiap langkahnya tidak akan menyimpang dari empat sifat yang dicontohkan oleh Rosulullah dalam pelaksanaan kepemimpinan sebagai presiden.
Dengan sifat siddiq, seorang pemimpin harus sanggup berkorban dan berjuang mengalahkan kepentingan pribadi dan golongan. Semua itu untuk memenangkan hak kebenaran. Ikhlas berkorban berdasarkan amar makruf nahi mungkar. Dengan sifat amanah, dia harus teguh dalam memegang amanah rakyat. Dengan sifat tablig, seorang pemimpin hendaknya berbicara dan menyampaikan kata harus seirama dengan perbuatannya, jujur menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan dengan sifat fathonah, dia harus memiliki kecerdasan dan intelektualitas tinggi, mumpuni menyerap dan memfilter berbagai masukkan dari luar dan dari dalam negeri. Dia tidak memiliki kecenderungan lain, selain hanya kepada yang satu yakni melaksanakan suatu keyakinan berjuang dan berkorban ikhlas karena Allah guna menegakkan hak kebenaran demi kemakmuran rakyat.

Pemimpin yang Akomodatif dan Aspiratif
Dalam menentukan seorang pemimpin, menurut KH. Masduqi Mahfudz itu tak ubahnya seperti memilih imam dalam sholat, artinya memiliki syarat dan persyaratan yang harus dipenuhi. Dia haruslah memiliki kelebihan dibandingkan orang awam pada umumnya. Hanya saja, dalam setiap negara itu memiliki undang-undangnya sendiri.
Di negara kita misalnya, pemerintahannya adalah dipimpin oleh seorang presiden. Tentu hal ini tidak bisa disamakan dengan sistem kekholifahan atau kesultanan. Misalnya di lembaga kepresidenan, dia memiliki wakil. Sedangkan sistem kekholifahan dan kesultanan tidak memiliki seorang wakil. Begitupun dengan wewenang dan lingkup kekuasaannya. Seorang presiden cuma memiliki kekuasaannya dalam wilayah eksekutif saja dan tidak pada wilayah yudikatif dan legislatif. Sedangkan dalam sistem kekholifahan dan kesultanan, wilayah mencakup secara seluruhnya.
Meskipun demikian kita tidak bisa mengabaikan nilai-nilai dan piranti kepemimpinan yang dipersyaratkan oleh agama. Kalau memakai perspektif, mereka haruslah memenuhi kriteria siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Namun tentu saja tidak mungkin sepenuhnya kriteria itu dapat dimiliki oleh pemimpin kita.


BAB II
SYARAT – SYARAT PEMIMPIN NEGARA

Negarawan yang baik haruslah mampu memenuhi berbagai kriteria yang mendasar di bawah ini.
1. Seorang negarawan harus jujur dan bangga terhadap dirinya sendiri.
2. Seorang negarawan adalah abdi negara dan abdi masyarakat. Mereka bukanlah manusia istimewa yang berhak memungut upeti dan memeras semaunya terhadap rakyat, tetapi abdi negara yang melayani kepentingan masyarakat.
3. Seorang negarawan bukanlah pejabat yang harus ditakuti dan bukan pula preman yang suka memeras dan mempersulit masyarakat.
4. Seorang negarawan harus punya rasa malu untuk menyeleweng dan berkhianat terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
5. Seorang negarawan harus memiliki minat kepada seluk beluk masyarakat dan situasi kondisi yang bersangkut paut dengan tugas dan fungsinya sebagai pejabat.
6. Dia harus memiliki kebanggaan terhadap profesi dan tanggung jawabnya.
7. Seorang negarawan yang baik mampu dan sanggup bekerja keras dan meningkatkan pengetahuannya guna meningkatkan karirnya tanpa menjilat dan memberi upeti.
8. Seorang negarawan yang baik mampu bersikap netral dan memberi lindungan kepada masyarakat kecil.

Seorang pemimpin negara juga harus:
1. Ramah terhadap lingkungannya, diapun enggan menggunakan kekerasan dan pemaksaan.
2. Bijaksana dan penuh kasih sayang, tenang dan sabar serta melindungi dan mengayomi semua pemeluk agama yang ada secara bersungguh-sungguh.
3.
6Selalu berpikiran jernih dan langkah tindakannya transparan maka dukungan energi alam untuk mencapai keberhasilan akan datang dan terlihat dengan jelas olehnya.
4. Harus mampu menciptakan keharmonisan dalam dirinya terlebih dahulu, kemudian keharmonisan dalam keluarganya, setelah itu mungkin dia akan mampu menciptakan keharmonisan bangsanya.


DAFTAR PUSTAKA

Dasar-dasar Ilmu Tata Negara SMU Kelas 3, Drs. Budiyanto, Erlangga – Ciracas, Jakarta 13740 (Anggota IKAPI).
Mimbar Pembangunan Agama. Menyongsong Pemimpin yang Amanah, September 2004 / TH Ke. XVIII.
Menuju Watak dan Sikap Negarawan. Harseno, Letjen TNI-Purn.

UUD 1945.

2 komentar:

Rudi Waskito mengatakan...

kalo gitu pilih presiden yang keren aja ya mas dan mengeti semua syarat syarat apa yang harus dimiliki seorang pemimpin.
HIDUP PAK WIRANTO HANURA JAYA INDONESIA JAYA SEMBAH DERAJAD NUSANTARA

M. Prasetio Wardoyo mengatakan...

Terimakasih sudah membuat postingan ini. Saya jadi terbantu. Saya mungkin hanya meralat sedikit. Sekarang, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Lalu, sudah ada 2 prinsip pemilu yang baru, jujur dan adil.