Selasa, 21 Oktober 2008

Artikel 03 : PENGARUH SUHU BLANCING DAN JENIS MANGGA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Upaya mencapai status gizi masyarakat yang lebih baik atau optimal dimulai dengan penyediaan pangan yang cukup. Penyediaan pangan yang cukup diperoleh dari produksi pangan dalam negeri melalui upaya pertanian dalam menghasilkan bahan makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah. (Almatsier, 2001)
Buah-buahan menyediakan kebutuhan zat gizi yang merupakan sumber zat pengatur yaitu vitamin dan mineral. Bila tubuh kekurangan vitamin dan mineral maka tubuh tidak dapat dipertahankan dalam keadaan sehat. (Muchidin, 1984)
Buah Mangga adalah salah satu buah-buahan sumber vitamin, di mana vitamin yang terkandung di dalamnya sangat dibutuhkan tubuh. Vitamin yang terkandung adalah vitamin A dan vitamin C, yang tinggi rendahnya tergantung pada varietas dan cara penyimpanan. (Rismunandar, 1983)
Buah mangga merupakan salah satu buah musiman yang sangat digemari baik di dalam maupun di luar negeri. Rasanya yang lezat dan khas sangat disukai sehingga menduduki salah satu buah pilihan pertama. Produksi buah mangga di Indonesia cukup besar. Indonesia merupakan penghasil mangga nomor empat di dunia. Pulau Jawa khususnya Jawa Timur merupakan daerah yang paling banyak membudidayakan tanaman mangga dengan pangsa produksi hampir 5% dari total produksi nasional. (Suyanti, 2000).
Data Biro Pusat Statistik pada tahun 2004 menunjukkan bahwa mangga merupakan buah yang memberikan sumbangan terbesar ketiga terhadap sumbangan buah nasional. Produksi mangga di Pulau Jawa sekitar 1,1 juta ton dan di luar Pulau Jawa sebesar 3-12.000 ton. Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi penghasil buah mangga terbesar yaitu sebesar 533.000 ton.
Jumlah produksi buah mangga yang cukup besar, tetapi daya simpan segarnya yang cukup singkat menjadi kendala pemasaran buah mangga. Untuk meningkatkan nilai tambah, buah mangga dapat dimanfaatkan menjadi bentuk olahan buah mangga, karena pengolahan buah mangga merupakan alternatif terbaik. Sedangkan bentuk olahan buah mangga dapat berupa manisan, asinan, jam, selai sari buah atau sirup. (Wisnu, 2003) Berdasarkan pernyataan. di atas bahwa perlu dilakukan penelitian pembuatan selai dari jenis mangga yang berbeda sehingga didapatkan selai mangga yang mempunyai kadar vitamin C yang cukup dan dapat diterima oleh konsumen.

1.2. Identifikasi Masalah
Buah mangga banyak digemari oleh masyarakat karena rasanya dari asam sampai manis dan kenikmatan yang khas dapat diperoleh bila memakannya. Mengingat buah mangga kaya akan zat gizi terutama vitamin dan masa simpan segar yang pendek, maka pada saat panen tiba perlu dilakukan penanganan pasca panen yang tepat. Karena jika tidak ditangani secara tepat, buah mangga akan layu dan busuk, terlebih lagi jika panen berlimpah dan pemasarannya sulit. Adapun salah satu bentuk penanganan atau pengolahannya adalah dijadikan selai mangga. Akan tetapi karena varietas mangga yang cukup banyak, maka dalam penelitian ini dipilih mangga Gadung, mangga Golek dan mangga Kwini sebagai bahan pembuatan selai. Karena pohon buah mangga Gadung, mangga Golek dan mangga Kwini banyak tumbuh baik di pekarangan, di tepi jalan atau kebun yang memang dibudidayakan, jadi jumlahnya cukup memadai. Selain itu, mangga Gadung, mangga Golek dan mangga Kwini mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga banyak ditemui di pasaran.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui apakah suhu blanching dan jenis mangga berpengaruh pada kadar vitamin C pada selai mangga. Untuk itu akan dilakukan uji kadar vitamin C pada selai mangga.
Untuk mengetahui daya terima selai mangga, maka dilakukan uji kesukaan (Hedonik) menggunakan organoleptik. Sedangkan uji organoleptik sendiri meliputi warna, rasa, aroma dan tekstur selai mangga. Uji ini dilakukan untuk mengetahui mutu selai mangga secara subyektif.

1.3. Perumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka rumusan dan batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: "Apakah ada pengaruh suhu blanching dan jenis mangga terhadap kandungan vitamin C dan daya terima pada selai mangga ? "

BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT

2.1. Tujuan Umum
Mempelajari apakah ada pengaruh jenis mangga yang berbeda terhadap kadar vitamin C dan daya terima selai mangga.
^
2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui kadar vitamin C selai mangga dari jenis mangga yang
berbeda.
2. Mengetahui daya terima konsumen terhadap warna, rasa, aroma dan
tekstur selai mangga dari jenis mangga dengan suhu blanching yang
berbeda.
3. Mengetahui kandungan vitamin C selai buah mangga dari jenis mangga
dengan suhu blanching yang berbeda.

2.3. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi jenis mangga yang baik untuk digunakan dalam pembuatan selai mangga yang berkualitas
2. Mampu menerapkan disiplin ilmu, khususnya ilmu teknologi pangan dan gizi dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Meningkatkan keterampilan penulis dalam pengolahan pangan untuk meningkatkan mutu (cita rasa) hasil olahan pangan dalam rangka meningkatkan kepuasan konsumen.

BAB III
METODE PENELITIAN

5.1. Rancang Bangun Penelitian
5.1.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimen laboratorium.
5.1.2. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3x pengulangan. Pembuatan selai dilakukan dengan jenis mangga yang berbeda, yaitu Mangga Gadung, Mangga Golek dan Mangga Kwini.

5.2. Sampel
Sampel yang digunakan adalah Mangga Gadung, Mangga Golek dan Mangga Kwini yang telah matang. Buah Mangga Gadung diperoleh dari PT. Kebun Grati Agung di Pasuruan dengan berat rata-rata 350 gr masing-masing buahnya. Sedangkan Mangga Golek dan Mangga Kwini diperoleh dari kebun Bapak Samad di daerah Cukurgondang, Pasuruan dengan berat rata-rata 350 gr untuk Mangga Golek dan 300 gr untuk Mangga Kwini. Sampel yang berupa selai selanjutnya diberi tanda yaitu :
A 121 : Untuk jenis Mangga Gadung dengan suhu blanching 80 °C
A 122 : Untuk jenis Mangga Gadung dengan suhu blanching 90 °C
A 123 : Untuk jenis Mangga Gadung dengan suhu blanching 100 °C

BAB IV
PEMBAHASAN

Hasil penelitian diperoleh dengan melakukan uji organoleptik (uji kesukaan). Skala yang digunakan dalam uji tersebut adalah skala hedonik yang meliputi rasa, warna dan aroma.
Adapun dari 30% panelis menyatakan suka dengan rasa selai mangga kwini yang diblancing dengan suhu 800C. Selain itu masing-masing sebanyak 30% panelis menyatakan netral dan tidak suka dengan rasa selai mangga kwini.
Untuk mangga gadung dan mangga golek sama-sama mempunyai rasa buah yang manis. Sedangkan mangga kwini mempunyai rasa manis dan sedikit masam.
Menurut Winarno (1984) cita rasa makanan dipengaruhi oleh bau, rasa dan rangsangan mulut. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji organeloptik terhadap selai mangga gadung, mangga golek dan mangga kwini.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Kandungan vitamin C dari buah mangga Gadung yaitu 30 gr/ 100 gr
bahan, mangga Golek yaitu 32 gr / 100 gr bahan, dan mangga Kwini
sebesar 30 gr /100 gr bahan.
2. Sebanyak 60% panelis menyatakan suka dengan rasa selai mangga
Gadung yang diblanching dengan sulm 80° C, sebanyak 35 % panelis
menyatakan suka dengan aroma selai mangga Gadung yang diblanching
dengan sului 80° C, sebanyak 45 % panelis menyatakan suka dengan
warna selai mangga Gadung yang diblanching dengan suhu 80° C dan 50
% panelis menyatakan suka dengan tekstur selai mangga Gadung yang
diblanching dengan suhu 80° C dan 90° C.
Sebanyak 35 % panelis menyatakan suka dengan rasa selai mangga Golek yang dtblauching dengan suhu 80° C, 70 % panelis menyatakan netral dengan aroma selai mangga Golek yang diblanching dengan suhu 80° C, 45 % panelis menyatakan netral dengan warna selai mangga Golek yang diblanching dengan suhu 80° C dan 90° C. dan 40 % panelis menyatakan suka dengan tekstur selai mangga Golek yang diblanching dengan suhu 90° C.
45 % panelis menyatakan netral dengan rasa selai mangga Kwini yang diblanching dengan suhu 90° C, 50 % panelis menyatakan netral dengan aroma selai mangga Kwini yang diblanching dengan suhu 90°C, 40 % panelis menyatakan suka dengan warna selai mangga yang diblanching dengan suhu 80° C, dan sebanyak 45 % panelis menyatakan suka dengan selai mangga Kwini yan diblanching dengan suhu 80 C dan 90 C.

5.2 Saran
Agar kadar vitamin C dalam selai mangga tidak banyak berkurang karena proses blanching, maka wadah yang digunakan hendaknya wadah yang tertutup. Atau dengan cara lain yaitu dengan memberi fortifikasi vitamin C dari kristal keringnya.

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1991. Budi daya Tanaman Mangga. Yogyakarta: Kanisius

Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka

Artikel 01 : Meningkatkan Prestasi Pembelajaran EPS dengan Model Pembelajaran IPS di kelas III SDN Sumberagung I Kecamatan Grati kabupaten Pasuruan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan kajian antar disiplin, IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga Negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan kemampuan anak didik agar menjadi anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Selain itu juga diharapkan mereka memiliki sikap dan karakter sebagai warga negara, dan memiliki keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan.
Permasalahan yang timbul sekarang ini,hasil nilai ulangan mata pelajaran IPS selalu rendah rata-rata kurang dari 50. keadaan semacam ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang mengikutinya, antara lain : mungkinkah karena kompetensi guru selaku pendidik, kompetensi peserta didik, kurikulum yang serat materi, proses pembelajaran yang tidak sesuai, atau sarana, prasarana dan media pembelajaran yang kurang memadai?
Dalam pengalaman, salah satu penyebab rendahnya hasil nilai ulangan siswa adalah kurang optimalnya kualitas pembelajaran di dalam kelas. IPS sebagai salah satu bidang studi yang memiliki tujuan membekali siswa untuk mengembangkan penalarannya di samping aspek nilai dan moral, banyak memuat materi sosial dan bersifat hafalan sehingga pengetahuan dan informasi yang diterima siswa terbatas produk hafalan. Sifat materi pelajaran IPS tersebut
membawa konsekuensi terhadap proses belajar mengajar yang didominasi oleh pendekatan ekspositoris, terutama guru menggunakan metode ceramah terjadi dialog imperative. Padahal, dalam proses belajar mengajar keterlibatan siswa harus secara totalitas, artinya melibatkan pikiran, penglihatan, pendengaran dan psikomotor (keterampilan, salah satunya sambil menulis). Jadi, dalam proses belajar mengajar, seorang guru mengajak siswa untuk mendengarkan, menyediakan media yang dapat dilihat, memberi kesempatan untuk menulis dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan sehingga terjadi dialog kreatif yang menunjukkan proses belajar mengajar yang interaktif. Situasi belajar seperti ini dapat tercipta melalui penggunaan model pembelajaran konstruktivistik.

B. Identifikasi Masalah
Pendekatan ekspositoris, terutama penggunaan metode ceramah dalam proses kegiatan belajar mengajar sudah tidak relevan, karena siswa tidak terlibat secara aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Permasalahan lain yaitu guru tidak menyediakan media peraga yang dapat digunakan siswa agar lebih aktif dan dapat lebih memahami materi pelajaran IPS. Dengan adanya media peraga itu akan menghindarkan siswa dari verbalisme. Terutama bagi siswa kelas rendah yaitu kelas I, II, dan III perlu menerapkan hal - hal yang konkret, sesuai dengan tahap perkembangannya. Mereka lebih mudah memahami melalui pengalaman yang konkret dibandingkan hanya mendengarkan dari guru saja. Dan belajar yang efektif harus dimulai dengan pengalaman langsung atau konkret menuju ke pengalaman yang lebih abstrak.
Model pembelajaran yang dianggap sesuai untuk menciptakan situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dan siswa, siswa dengan siswa dan dengan sumber pembelajaran adalah model pembelajaran interaktif melalui model pembelajaran konstruktivistik.

C. Rumusan M asalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pendekatan konstruktivistik dapat meningkatkan prestasi
pembelajaran IPS di kelas III SDN Sumberagung I?
2. Bagaimana keefektifan penggunaan model pembelajaran interaktif melalui
pendekatan konstruktivistik dalam meningkatkan prestasi pembelajaran IPS di
kelas III SDN Sumberagung I?

D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, dapat ditentukan adanya tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui apakah pendekatan konstruktivistik dapat meningkatkan
prestasi pembelajaran IPS di kelas III SDN Sumberagung I.
2. Untuk mengetahui keefektifan penggunaan model pembelajaran interaktif
melalui pendekatan konstruktivistik dalam meningkatkan prestasi
pembelajaran IPS di kelas IIII SDN Sumberagung I.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pengelolaan pembelajaran, khususnya guru yang mengajar IPS, yaitu :
1. Memiliki gambaran tentang proses belajar mengajar mata pelajaran IPS yang
efektif.
2. Dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul di kelas, sekaligus mencari
solusi pemecahannya.
3. Dipergunakan untuk menyusun program peningkatan keefektifan
pembelajaran IPS pada tahap berikutnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial)
IPS merupakan perpaduan antara konsep-konsep ilmu sosial dengan konsep-konsep pendidikan yang dikaji secara sistematis, psikologi dan fungsional sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik (Somantri, 1996). Perpaduan antara ilmu-ilmu sosial dan pendidikan dalam sajian IPS disebut dengan istilah synthetic disiplin.
Berkenaan dengan batasan IPS, Nursid Sumaatmadja (1980: 11) mengemukakan bahwa "Secara mendasar pengajaran IPS berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS berkenaan dengan cara manusia menggunakan usaha memenuhi kebutuhan materinya, memenuhi kebutuhan budayanya, kebutuhan kejiwaannya, pemanfaatan sumber yang ada dipermukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya, dan lain sebagainya yang mengatur serta mempertahankan kehidupan masyarakat manusia. Pokoknya mempelajari menelaah dan mengkaji sistem kehidupan manusia di permukaan bumi ini, itulah hakikat yang dipelajari pada pengajaran IPS".
Berbeda dengan IPS atau studi sosial, ilmu-ilmu sosial atau social science mempunyai batasan atau pengertian yang lebih mengacu pada bidang kajian sosial kemasyarakatan yang didasarkan kepada disiplin-disiplin ilmu yang terangkum dalam ilmu-ilmu sosial. Achmad Sanusi (1971 : 17) mengemukakan bahwa ilmu-ilmu sosial terdiri atas disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertaraf akademis, dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah, sehingga ilmu sosial bersifat interdisiploner.
Berdasarkan pernyataan di atas tampak bahwa bidang kajian antara ilmu sosial atau ilmu pengetahuan sosial tidaklah berbeda yaitu sebagai bidang studi yang bidang kajiannya sama-sama mempelajari kehidupan individu di masyarakat walaupun penekanaan karangkanya berbeda.dari penjelasan dan batasan pengertian IPS, nampak ruang lingkup IPS pada dasarnya mempelajari manusia pada konteks sosialnya atau manusia sebagai anggota masyarakat.
Pada dasarnya pengertian IPS mengacu pada dua pendekatan yaitu: 1) pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih cenderung sebagai kurikulum akademik (academic curriculum), (2) pengenalan lingkungan sosial yang disebut dengan pendidikan pengetahuan sosial. Validitas kedua pendekatan ini berlaku apabila ditinjau dari tingkatan pendidikan atau jenjang pendidikan. Kamarga (1994:12) mengatakan berdasarkan fungsi pengajarannya di sekolah IPS terdiri dari social science dan sosial studies. Pendidikan ilmu-ilmu sosial (social science) biasanya dikembangkan dalam kurikulum akademik atau kurikulum disiplin ilmu pada tingkat sekolah menengah. Kurikulum yang demikian akan memakai disiplin ilmu sebagai label mata pelajaran dan tujuan kurikulum sangat erat berhubungan dengan tujuan disiplin ilmu (Hasan 1993:93). Sedangkan pendidikan ilmu pengetahuan sosial (social studies) dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar. Dalam hal ini fokus utama IPS adalah kajian hubungan antar manusia. Dengan demikian untuk mencapai keserasian dan keselarasan kehidupan masyarakat diperlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terbentuk melalui pendidikan pengetahuan sosial.
Untuk jenjang sekolah dasar, tujuan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan peserta didik. sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang menjadi titik perhatian yang tidak terlupakan. Menurut Alleman & Rosean (1991:57). Wyner (1991:123) landasan dikembangkannya bentuk kurikulum IPS yang berasal dari social science adalah interaksi tiga komponen dalam diri siswa yakni komponen kognitif, komponen sosial emosional, dan komponen moral, yang ketiganya berkembang dan berinteraksi serta berintegrasi membentuk pribadi siswa. Melalui pendidikan IPS, ketiga komponen ini saling diperlengkapi sehingga siswa memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, Hasan (1993:56) mengemukakan secara konseptual IPS untuk jenjang sekolah dasar disajikan secara: 1. Merujuk pada organisasi materi kurikulum yang bertujuan: 1) mengembangkan kemampuan melalui pengetahuan sosial dan budaya, 2) mendidik siswa mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan nilai untuk dirinya sebagai individu maupun sebagai mahkluk sosial dan budaya.
2. Kajian materi berhubung dengan kehidupan sosial dan budaya di sekitarnya,
di wilayah tempat tinggalnya, di negaranya sebagai warga negara, dan dunia.
3. Tidak langsung berhubungan dengan disiplin ilmu sosial. Pokok bahasa yang
berlabelkan disiplin ilmu sosial bukan karena kedudukannya dalam disiplin
ilmu tetapi karena arti penting materi yang dikandungnya untuk mencapai
tujuan pendidikan yang diharapkan.
4. Organisasi materi tidak membatasi diri dengan salah satu atau beberapa
disiplin ilmu sosial.
Berdasarkan permen 22/2006 tentang standar isi untuk satuan mata pelajaran pendidikan dasar dan menengah, diketahui bahwa mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logjs dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dan kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, dan global.

B. Materi IPS di SD
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial.
Sedangkan ruang lingkup pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SD/MI meliputi aspek:
(1) Manusia, tempat, dan lingkungan,
(2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan,
(3) System sosial budaya,
(4) Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
Sumber materi IPS di SD meliputi konsep-konsep pokok dalam disiplin ilmu sosial dan bermasyarakat. Konsep pokok dalam disiplin ilmu sosial meliputi fakta, data, konsep, dan generalisasi dalam disiplin ilmu sosial. Sedangkan
masyarakat meliputi jenis, tingkatan, kegiatan, lembaga, kejadian, dinamika, partisipasi anggota masyarakat dan hubungan antar masyarakat.
Beberapa hal yang menjadi sumber materi IPS dalam masyarakat antara lain: (1). Kegiatan manusia; (2). Manusia dan lingkungan; (3). Kehidupan manusia di masa lampau; (4). Lembaga - lembaga hidup dan manusia; (5) Current event; (6). Issues; (7). Problem; (8). Controversial issues, dan (9). Relation.

C. Pembelajaran IPS di SD.
Pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan menengah (UUSPN, 1989).
Sedangkan pendidikan IPS di SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:
1. Mengenal konsep - konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai - nilai sosial dan
kemanusiaan.
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Hal tersebut selaras dengan prinsip pembelajaran di Sekolah Dasar yang mengacu pada asas DAP (Developmentanlly Appropriate Practice) atau asas kecernaan yang dicirikan dengan:
1. Mulai belajar dari apa yang dekat dan dapat dijangkau anak (asas kedekatan,
immediacy)
2. Menampak dari jenjang yang serba factual (operasi konkret) ke jenjang
abtraksi (konseptual).
3. Memikirkan segala sesuatu yang dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh
dan terpadu (holistic dan integrative).
4. Melakukan aktifitas belajar penuh makna (meaningful) melalui proses manipulatif sambil bermain.
Permasalahannya, apakah lingkungan sekitar ini sudah dimanfaatkan guru secara optimal dalam mengajarkan IPS?. Karena berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pengajaran IPS di sekolah dasar masih berorientasi dan surat dengan pengembangan keilmuan yang bersifat teoritis dan konseptual (Suwarma Al Mukhtar, 1990). Belum banyak memanfaatkan lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai sumber belajar (Sri Redjeki, 1985: Makrina Tindangen, 1991: Dedi Kuswandi, 1995: Hansiswanty, 1995).
Tujuan pendidikan IPS meliputi aspek-aspek: 1) pengertian (understanding) yang berkenan dengan pemberian latar pengetahuan dan informasi tentang dunia dan kehidupan; 2) Sikap dan nilai (attitudes and values). "dimensi rasa" (feeling) yang berkenan dengan pemberian bekal mengenai dasar-dasar etika masyarakat yang nantinya akan menjadi orientasi nilai dirinya dalam kehidupan di dunia nyata. 3) Keterampilan (skills), khususnya yang berkenan dengan kemampuan dan keterampilan IPS. Aspek keterampilan IPS ini secara garis bawahnya meliputi: keterampilan sosial (social skill), keterampilan belajar dan kebiasaan kerja (study skill and work habits), keterampilan bekerja kelompok (group work skills), dan keterampilan intelektual (intelektual skills), (Racmadi, 1996).
Metodologi pembelajaran yang utama dalam pembelajaran IPS adalah: 1) berorientasi pada "proses-proses belajar itu sendiri". 2) organisasi dan implementasi program pembelajaran berdasarkan pendekatan konsep (conceptual approach). 3) berorientasi pada model pembelajaran yang bersifat inkuiri, penemuan (discovery), pemecahan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking), berpikir reflektif (revlective thinking), induktif (induction),dan pengkajian (investigation), 4) menggunakan multi sumber belajar, 5) berorientasi pada nilai, 6) mengembangkan keterampilan intelektual, 7) kedap terhadap realitas kehidupan masyarakat, 8) pengembangan peran wanita, 9) berorientasi pada tindakan (action orientation), 10) menggunakan sumber bahan ajar yang luas dan beragam, 11) pengkajian secara berkesinambungan terhadap pendekatan-pendekatan yang bersifat inovatif (Rochmadi, 1996).
Dalam proses belajar mengajar baik tingkat tinggi maupun tingkat yang lebih rendah secara tidak langsung dalam situasi dan kondisi apapun, terdapat tiga komponen yang saling mempengaruhi. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, bahan ajar serta guru.
Dalam pembelajaran IPS seyogyanya seorang guru menggunakan pendekatan pengajaran yang memungkinkan seorang siswa memperoleh pengalaman langsung. Ragan dan Me Aulay (1964; 71) mengemukakan bahwa memberikan pengalan secara langsung (learning experiences), adalah untuk menghindari verbalisme dan memberikan kedalaman makna dan pengertian (meaningful learning) kepada peserta didik tentang topik yang dibicarakan, serta keterkaitannya dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan dalam pendidikan IPS di SD.

D. Model Pembelajaran Konstruktivistik
Pendekatan konstruktivistik merupakan pendekatan pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara aktif, menyenangkan dan merangsang motivasi perkembangan proses intelektual. Terdapat empat alasan mengapa siswa harus dikembangkan kemampuan berpikirnya terutama dalam IPS. Pertama, kehidupan kita dewasa ditandai dengan abad informasi yang menuntut setiap orang untuk memiliki kemampuan dalam mencari, menyaring guna menentukan pilihan dan manfaatkan informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kehidupannya.; Kedua, setiap orang senantiasa dihadapkan pada berbagai masalah dan ragam pilihan sehingga untuk itu dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, karena masalah dapat terpecahkan dengan pemikiran seperti itu; Ketiga, kemampuan memandang suatu hal dengan cara baru atau tidak konvensional merupakan keterampilan penting dalam memecahkan masalah; dan alasan keempat, kreatifitas merupakan aspek penting dalam memecahkan masalah, mulai dari apa masalahnya, mengapa muncul masalah dan bagaimana cara pemecahannya. Seandainya Anda saat ini sudah menjadi guru, apakah keempat hal itu sudah terpikirkan dalam menjalankan tugas? Atau Anda yang calon guru sedianya telah memikirkannya. Bagaimana melaksanakan proses belajar mengajar

yang ideal dan dapat melibatkan siswa secara aktif sehingga memiliki kemampuan berpikir kritis?
Mengubah suatu kebiasaan merupakan pekerjaan yang tidak gampang, demikian halnya dengan proses belajar mengajar yang sudah terbiasa menggunakan pendekatan ekspositoris, tetapi bukan berarti tidak bias dilakukan bukan? Pendekatan ekspositoris atau dalam pelaksanaannya guru menggunakan model dialog imperatife, di mana dalam proses mengajar terjadi interaksi yang pasif di pihak siswa. Untuk itu, diperlukan partisipasi siswa secara aktif dan kreatif melalui penggunaan model pembelajaran yang interaktif. Memang dalam pelaksanaannya tidak dapat diganti secara keseluruhan karena bagaimanapun juga pendekatan ekspositoris memiliki kebaikan dan kelemahan maka marilah kita bicarakan bagaimana mengurangi kelemahan tersebut sebelum kita mampu menghilangkannya. Salah satu interaktif yang akan dibahas adalah bagaimana menggeser pendekatan ekspositoris ke arah pendekatan partisipator, yang memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang interaktif. anda pasti bertanya mengapa dipilih model pembelajaran konstruktivistik?
Proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian mengajar, karena itu di dalamnya tersirat satu kesatuan kegiatan yang tidak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar, yang terjalin dalam bentuk interaksi edukatif. Peran guru dalam pembelajaran IPS mempunyai hubungan erat dengan cara mengaktifkan siswa dalam belajar, terutama pada proses pengembangan keterampilannya. Menurut Balen (1993), pengembangan keterampilan tersebut yang harus dimiliki siswa adalah keterampilan berpikir, keterampilan sosial dan keterampilan praktis. Keterampilan berpikir di kembangkan untuk melatih siswa berpikir logis dan sistematis melalui proses belajar mengajar dengan model pengembangan berpikir kriyis, keterampilan sosial dan praktis melalui model dialog kreatif. Ketiga keterampilan tersebut dapat di kembangkan dalam situasi belajar mengajar yang interaktif antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Interaktif optimal dalam proses belajar mengajar dapat digambarkan dengan model sharing (Sharing Model) sebagai berikut.
Optimalisasi interakyif dalam proses belajar mengajar akan bergantung kepada beberapa factor yang menyangkut kesiapan siswa dan guru sebagai berikut:

A. Faktor Minat Dan Perhatian
Kondisi belajar mengajar yang interaktif adalah adanya minat dan perhatian siswa dalam belajar, yang merupakan faktor utama penentu derajad keaktifan siswa. Menurut Mursell terdapat 22 macam minat yang berguna bagi guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa, di antaranya anak memiliki minat terhadap belajar dan guru berusaha membangkitkan minat siswa tersebut dengan cara memilih dan menentukan bahan pengajaran sebagai key concept untuk mendapatkan perhatian siswa secara penuh. Upaya meningkatkan perhatian siswa dapat dilakukan dengan cara mengajukan masalah.

B. Faktor Motivasi
Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan guna mencapai tujuan, atau keadaan dalam diri seseorang yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan motif adalah daya dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Motivasi belajar dapat timbul dari dalam diri siswa (motivasi intrinsik) dan pengaruh dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik). Dalam konteks ini guru berperan sebagai motivator untuk menumbuhkan kedua motivasi tersebut agar siswa dapat belajar dengan baik. motivasi intrinsik telah dimiliki setiap siswa dengan adanya potensi rasa ingin tahu (sense of curiosity), rasa ingin
maju dan lain-lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik dapat timbul dari upaya guru melalui penerapan ganjaran dan penghargaan atau reward serta hukuman atau punishment (Model S-R), yang diorentasikan pada upaya memotivasi siswa untuk belajar.

C. Faktor Latar Atau Konteks
Belajar berdasarkan realita akan menarik, belajar dimulai dari yang sederhana dapat memotivasi dan belajar berdasarkan pengalaman dapat mengikut sertakan siswa di dalamnya. Dalam proses mengajar, guru perlu mencari tahu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang telah dimiliki oleh siswa sehingga tidak terjadi pengulangan materi atau contoh karena akan menimbulkan kebosanan bagi siswa. Guru dituntut untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki siswa tersebut. Misalnya ketika guru menjelaskan pokok bahasan mata pencaharian penduduk tidak perlu diterangkan lagi arti penduduk, tetapi perlu diingatkan kembali mungkin dengan cara mengajukan pertanyaan, seperti pertanyaan masih ingat pengertian penduduk? Siapa yang masih ingat? Selanjutnya pembahasan diarahkan pada materi utama.

D. Faktor Perbedaan Individu
Pada hakikatnya, siswa adalah individu yang unik yang memiliki karakteristik berbeda-beda, baik kecerdasan, minat, bakat, sifat, kegemaran dan latar belakang, yang dapat mempengaruhi proses mengajar Mursell, mengemukakan perbedaan siswa secara vertikal dan secara kualitatif. Perbedaan vertikal, yaitu berkenaan dengan intelegensi umum dari siswa dan perbedaan kualitatif berkenaan dengan bakat dan minatnya. Mengingat adanya perbedaan tersebut, guru hendaknya menyadari dan memaklumi apabila ada siswa yang berhasil dengan baik, atau bahkan sebaliknya mengalami kesukaran memahami pelajaran. Dalam hal ini, guru harus tetap memperhatikan persamaan dan perbedaan siswa dengan cara mengoptimalkan pengembangan kemampuan mereka masing-masing. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui bantuan khusus atau menjadikan siswa saling membelajarkan, artinya siswa yang pandai membantu siswa yang belum memahami sehingga dengan adanya perbedaan tersebut, guru tidak harus mengajar siswa secara individual.
E. Faktor Sosialisasi
Sosialisasi atau proses hubungan sosial, pada masa anak - anak sedang tumbuh yang ditandai dengan keinginannya untuk selalu berusaha menjalin hubungan dengan teman - temannya. Tetapi ada sesuatu hal yang perlu mendapat perhatian guru ketika sedang berlangsung proses belajar mengajar, yaitu mereka akan merefleksikan keinginannya dengan cara mengobrol dengan temannya sehingga akan menimbulkan kegaduhan di dalam kelas dan kegiatan belajar mengajar menjadi tidak efektif. Upaya guru untuk menyalurkan kebutuhan anak akan hubungan sosial tersebut dapat dilakukan dengan belajar kelompok sehingga dapat mengembangkan potensi dan melatih anak menciptakan suasana kerja sama, proses pembentukan kepribadian tumbuhnya kesadaran akan perbedaan di antara temannya yang dapat menumbuhkan solidaritas melalui saling membantu menyelesaikan tugas.

F. Faktor Balajar Sambii Bermain
Bermain merupakan kebutuhan bagi anak yang sehat, karena bennain merupakan keaktifan yang menimbulkan kegembiraan dan menyenangkan. Proses belajar mengajar yang dilakukan dalam suasana bermain akan mendorong siswa aktif belajar dan pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya fantasi anak akan berkembeng. Suasana senang dan gembira dalam proses belajar mengajar dapat diciptakan guru dengan tanpa mengesampingkan tujuan belajar, misalnya dengan menggunakan metode bermain peran (role playing) atau metode karya wisata yang murah.

G. Faktor Belajar Sambil Bekerja
Belajar sambil bekerja adalah kegiatan nyata yang dilakukan siswa untuk memperoleh pengalaman baru yang relative mudah diingat dan tidak cepat lupa.dengan demikian, proses belajar mengajar yang melibatkan siswa dengan melakukan sesuatu akan memupuk rasa percaya diri, gembira, tidak membosankan, dan dapat melihat hasilnya. Dalam hal ini tugas guru adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk mengeerjakan sesuatu dan memberikan penilaian terhadap hasil kerjanya, supaya siswa mengetahui kemampuan dan kekurangannya, misalnya melalui pemberian tugas
H. Faktor Inkuiri
Pada dasarnya siswa memiliki potensi berupa dorongan untuk mencari dan menemukan sendiri ( sense of inquiry ), baik fakta maupun data informasi yang kemudian akan dikembangkannya dalam bentuk cerita atau menyampaikannya kepada siswa lain, setelah melalui proses pemahaman. Dengan demikian, berilah kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri informasi yang ada kaitannya dengan materi pelajaran. Dalam konteks ini tugas guru adalah menyampaikan informasi yang mendasar dan memancing siswa untuk mencari informasi selanjutnya.

I. Faktor Memecahkan Masalah
Setiap akan menyukai tantangan (sense of chalanger), demikian pula dengan siswa dalam belajar. Belajar yang memiliki tantangan yang sesuai dengan kemampuan siswa akan mendorong mereka untuk belajar. Sebaliknya tantangan yang memberatkan akan mematahkan semangat dan membuat siswa tidak betah belajar. Dalam proses belajar mengajar , tantangan tersebut dapat diciptakan oleh guru dengan mengajukan situasi yang bermasalah agar siswa peka terhadap masalah. Karena kepekaan terhadap masalah akan mendorong siswa untuk melihat masalah dan merumuskannya, memilih serta berdaya upaya untuk menentukan cara pemecahan sesuai dengan tingkat kemampuannya.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian seperti yang tertulis pada Bab I dan Bab II, maka rancangan penelitian yang dipilih adalah PTK. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan metode pembelajaran yang memungkinkan diperolehnya keefektifan pembelajaran. Hasil yang diharapkan adalah mendorong para guru melakukan perubahan dalam praktik pembelajaran di kelas dengan menggunakan pendekatan profesional. Penelitian juga dilakukan terhadap keaktifan peserta didik untuk belajar menemukan sendiri selama proses pembelajaran dan prestasi belajar peserta didik setelah pelaksanaan pelajaran. Untuk mewujudkan tujuan tersebut PTK dilaksanakan melalui proses pengkajian berdaur yang terdiri dari empat tahap yaitu Perencanaan, Tindakan, Observasi dan Refleksi dengan model kolaborasi. Dari keempat tahap dalam satu siklus (daur) PTK digambarkan seperti gambar berikut:
B. Prosedur Penelitian
Untuk kelancaran penelitian, diperlukan prosedur atau langkah - langkah dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah yang di teliti. Prosedur penelitian merupakan langkah - langkah untuk memperoleh data dari sumber yang diteliti mulai dari awal sampai akhir untuk disajikan dalam bentuk karya ilmiah. Jalannya penelitian yang peneliti lakukan adalah melalui empat tahap, yaitu :

1. Tahap Persiapan
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti mengadakan persiapan dengan beberapa kegiatan. Pada penyusunan rencana persiapan mula-mula peneliti membuat desain model pembelajaran konstruktivistik dengan media gambar tentang keluarga. Desain ini memuat pengalaman belajar peserta didik dengan alat belajar Lembar Kerja Siswa.
Selanjutnya peneliti membuat instrument penelitian yang berupa pedoman observasi dan cara menganalisisnya. Tes yang direncanakan adalah tes akhir pembelajaran yang dilengkapi kisi-kisi pembelajaran dan kunci serta pedoman penilaian. Di samping itu peneliti juga merencanakan kegiatan eksplorasi terhadap soal - soal tes buatan peneliti. Dalam kegiatan ini peneliti mengidentifikasi soal - soal tes yang gagal dijawab oleh sebagian besar peserta didik. Kegiatan persiapan selanjutnya yang dilakukan peneliti adalah penentuan dan penyusunan alat peraga yang berupa media gambar yang sesuai setiap siklus, penyusunan jadwal penelitian dan daftar kelompok siswa.
Agar pada tahap pelaksanaan pembelajaran yang direncanakan berjalan lancar, peneliti mempersiapkan untuk menerapkan model pembelajaran konstruktivistik sesuai dengan desain pembelajaran yang telah disusun.

2. Tahap Pelaksanaan
Setelah persiapan dianggap matang barulah penelitian dimulai. Penelitian dilaksanakan dengan beberapa kegiatan. Penelitian dilakukan terhadap kegiatan pembelajaran tentang kedudukan dan peran anggota dalam keluarga yang dilakukan oleh peneliti. Selama kegiatan pembelajaran peneliti juga melakukan pengamatan terhadap peserta didik.
Setelah tes akhir dilaksanakan, peneliti bersama kolaborator memeriksa hasil belajar peserta didik dan melakukan eksplorasi terhadap soal - soal tes buatan peneliti. Kolabolator adalah guru dari kelas lain yang memiliki masalah yang sama.

3. Tahap Observasi
Selama pembelajaran berlangsung dilakukan observasi oleh peneliti. Focus observasi adalah pelaksanaan pembelajaran kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dengan menggunakan media gambar dipandang dari peserta didik. Hasil observasi dicatat dalam format khusus atau catatan bebas yang disepakati bersama. hasil observasi terhadap peserta didik dicatat dalam catatan khusus. Sedangkan hasil tes akhir dan hasil eksplorasi terhadap soal tes buatan peneliti dimasukkan ke dalam table atau format khusus. Analisis butir soal ini digunakan untuk membantu memperbaiki hasil belajar yang dicapai peserta didik.

4. Refleksi
Kegiatan refleksi diawali dengan memeriksa catatan hasil observasi. Pemeriksaan ini dilakukan oleh peneliti dan kolaborator. Respon peserta didik dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan media gambar dijadikan catatan pelengkap data. Hasil pemeriksaan ini kemudian dikaji dan didiskusikan bersama. Data hasil tes akhir diolah dengan presentasi. Hasil eksplorasi soal tes buatan peneliti dikaji, dievaluasi dan ditindaklanjuti pada siklus berikutnya. Hasil-hasil tersebut di atas kemudian dirumuskan sebagai refleksi pembelajaran siklus I.

C. Setting Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas III SDN Sumberagung I Kec. Grati Kab. Pasuruan dengan jumlah peserta didik L = 10 , P = 5 semester 1 tahun ajaran 2008/2009. Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 25 Agustus sampai 29 Agustus 2008. Adapun alasan penelitian di kelas III adalah karena di kelas III memang mengalami masalah dengan proses pembelajaran IPS sehingga mempunyai daya serap rendah.

D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan tes.
1. Observasi
Suharsimi Arikunto (1997 : 146 ) menjelaskan bahwa observasi atau pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh indera. Di dalam observasi peneliti menggunakan panduan atau pedoman observasi yang berisi daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati. Pengamat tinggal memberi tanda atau ceklis pada kolom tempat peristiwa muncul.
2. Tes
Suharsimi Aikunto (1997 : 141 ) menyimpulkan bahwa tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. Tes yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi isi dan konstruk. Selanjutnya peneliti melakukan analisis tingkat kesukaran dan daya serap.
Observasi dilakukan oleh peneliti selama kegiatan pembelajaran setiap siklus. Observasi dilakukan terhadap peserta didik dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran konstruktivistik dengan media gambar. Data hasil observasi merupakan data tentang perilaku atau respon siswa dalam kegiatan pembelajaran. Data tersebut dicatat oleh peneliti dalam catatan bebas atau format khusus.
Setelah melaksanakan tes akhir dari setiap siklus, peneliti melakukan pengumpulan data hasil pembelajaran peserta didik dan tingkat ketuntasan peserta didik. Data yang diperoleh adalah data mentah kemudian ditafsirkan menggunakan Penilaian Acuan criteria. Setelah itu dinyatakan dalam bentuk prosen dengan rumus sebagai berikut:
Tingkat penguasaan = x 100% ( Nasution, 2002 : 320 )
Di mana : B = nilai/sekor
N = nilai maksimum
Dari tingkat penguasaan dapat ditafsirkan tentang ketuntasan belajar peserta didik sesuai dengan kurikulum SD sebagai berikut:
1. Ketuntasan Perorangan
Seorang peserta didik dikatakan berhasil (mencapai ketuntasan) jika telah berhasil mencapai taraf penguasaan minimal 70%. peserta didik yang belum mencapai taraf penguasaan minimal 70% perlu diberi perbaikan. Di dalam penguasaan 70% dinyatakan baik sesuai dengan petunjuk pelaksaan penilaian di sekolah dasar (depdikbud, 1995 : 10 ).
2. Ketuntasan kelompok
Kelompok atau kelas dikatakan telah berhasil jika paling sedikit 85% dari jumlah dalam kelompok atau kelas itu telah mencapai ketentuan perorangan.
a. Apabila sudah mendapat 85 5 dari banyak peserta didik yang mencapai
tingkat ketuntasan belajar maka kelas yang bersangkutan dapat
melanjutkan kegiatan pembelajaran dengan pokok bahasan berikutnya.
b. Apabila banyak peserta didik dalam kelas yang mencapai ketuntasan
belajar masih kurang 85 5, maka :
1) Peserta didik yang taraf penguasaannya kurang dari 85% perlu diberi
program perbaikan.
2) Peserta didik yang telah mencapai taraf penguasaan 85% atau lebih dapat diberikan program pengayaan.
Jika data sudah menunjukan 85% dan semua peserta didik sudah mendapat tingkat penguasaan 85% ke atas, berarti pembelajaran sudah dapat dikatakan efektif ( Nasution, 2002 : 320 ). Namun jika belum sesuai dengan criteria tersebut dapat dikatakan efektif. Pembelajaran perlu diremidi dalam hal ini diperlukan pembelajaran siklus berikutnya.
Untuk mengetahui daya tarik suatu pembelajaran dapat dilakukan pengamatan apakah peserta didik ingin terus belajar atau tidak. Jadi kecenderungan peserta didik untuk tetap terus belajar yang diperlihatkan dan diungkapkan oleh peserta didik dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat daya tarik peserta didik terhadap pembelajaran dengan cara menganalisis data hasil observasi yaitu:

x 100%

skor maksimal Adapun interpretasi data prosentase adalah
0 - 20 = sangat kurang
20-40 = kurang
40-60 = cukup baik
60-80 = baik
80- 100= sangat baik

Pada bagian refleksi dilakukan analisis data mengenai proses, masalah dan hambatan yang ditemukan, kemudian dilanjutkan dengan refleksi dampak pelaksanaan tindakan yang dilaksanakan. Salah satu aspek penting dari kegiatan refleksi adalah evaluasi terhadap keberhasilan dan pencapaian tujuan.

E. Metode Analisa data
Data hasil observasi pembelajaran dianalisis bersama-sama dengan mitra kerja kolaborasi, kemudian ditafsirkan berdasarkan kajian pustaka dan pengalaman guru. Temuan-temuan penelitian yaitu apa yang perlu diperbaiki dalam proses pembelajaran siklus berikutnya disimpulkan sementara. Sedangkan hasil belajar peserta didik dianalisis berdasarkan ketentuan belajar peserta didik. Dengan analisis data tersebut diperoleh gambaran tentang adanya peningkatan prestasi belajar peserta didik atau tidak.
Terkait dengan tes akhir pembelajaran, peneliti melakukan analisis soal. Materi butir soal yang dianggap gagal dijawab peserta didik, perlu ditekankan pada pembelajaran siklus berikutnya.
Hasil observasi terhadap kecenderungan peserta didik memperlihatkan tetap betah untuk belajar dicatat dalam catatan khusus. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui ketertarikan penggunaan model pembelajaran interaktif melalui model pembelajaran konstruktivistik.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini dikemukakan dalam dua siklus. Pada setiap siklus dikemukakan hasil penelitian mengenai penggunaan, keefektifan, efisiensi dan kemenarikan model pembelajaran interaktif melalui pendekatan konstruktivistik dalam meningkatkan prestasi pembelajaran IPS yang meliputi kedudukan dan peran orang tua, kedudukan dan peran anak dalam keluarga. 1. Pembelajaran

1. Pembelajaran Siklus I
Dalam pembelajaran siklus I, materi pembelajaran tentang uang kartal disampaikan dengan cukup jelas. Siswa dibagj menjadi beberapa kelompok dan tiap kelompok terdiri dari 3 atau 4 siswa.
Dalam pembelajaran ini digunakan metode Tanya jawab dan pemberian tugas. Dengan alat belajar berupa LKS, peserta didik dibimbing dengan pertanyaan-pertanyaan dan tugas-tugas. Melalui media gambar peserta didik mengerjakan tugas menjawab LKS.
Dalam tahap pemahaman, pembelajaran diorientasikan pada aktivitas peserta didik. Peneliti sebagai fasilitator yang berperan membantu, memberi kemudahan dan membimbing peserta didik dengan sabar dan telaten. Dan penggunaan aktivitas peserta didik dalam memahami materi pembelajaran masih kurang optimal. Peserta didik masih belum bisa menalarkan hal yang dilihatnya dengan baik.
Data tentang hasil belajar peserta didik dan hasil eksplorasi hasil tes buatan peneliti dijaring melalui table dan format. Data kemudian dianalisis dengan cara sebagaimana tersebut dalam alternative pemecahan. Selanjutnya hasil pemecahan masalah dapat dilihat pada table di bawah ini:




Table 4.1 Analisis Hasil Evaluasi Siklus I
No Subjek Nomor Soal Tingkat Penguasaan Nilai Keterangan

1 2 3 4 5

1 1 0 1 1 1 1 80 80 Juntas
2 2 1 1 0 1 0 60 60 Tidak Juntas
3 3 - - - - - - - Tidak nadir
4 4 0 1 1 0 0 40 40 Tidak Juntas
5 5 1 0 1 0 0 40 40 Tidak Juntas
6 6 1 0 0 0 0 20 20 Tidak Tuntas
7 7 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Tuntas
8 8 0 1 1 1 0 60 60 Tidak Tuntas
9 9 0 1 0 0 0 20 20 Tidak Tuntas
10 10 1 1 1 1 0 80 80 Tuntas
11 11 1 1 1 0 0 60 60 Tidak Tuntas
12 12 1 0 0 0 0 20 20 Tidak Tuntas
13 13 0 1 0 0 0 20 20 Tidak Tuntas
14 14 1 1 0 0 0 40 40 Tidak Tuntas
15 15 1 1 1 1 1 100 100 Tuntas
Jumlah Salah 6 4 7 9 12
Jumlah Benar 8 10 7 5 2

Analisis terhadap hasil tes akhir menunjukkan rerata nilai 45,71. jumlah peserta didik yang mendapat nilai > 70 ada anak 3 orang atau 21% dari seluruh peserta didik yang mengikuti tes akhir yaitu 14 orang. Berdasarkan data tersebut, pembelajaran yang telah dilaksanakan belum memenuhi criteria ketuntasan belajar sebagaimana yang dipersyaratkan. Pembelajaran siklus I yang jauh dari harapan perlu diperbaiki dengan melakukan pembelajaran siklus berikutnya.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa keaktifan peserta didik cukup baik. Sepuluh siswa atau 71% pada menunjukkan keaktifan siswa dengan perilaku mengotak atik objek, mengerjakan LKS dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Di samping itu peserta didik tampak antusias dalam pembelajaran. Keantusiasan peserta didik ditunjukkan dengan sikap bersemangat, merasa senang dan betah di dalam kelas.
Beberapa hal yang dapat direfleksikan dari hasil pembelajaran siklus I. Pertama, pendekatan konstruktivistik perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan. Kedua, tahap pemahaman materi pembelajaran perlu diperbaiki, siswa belum mampu menyelesaikan soal-soal yang mengandung penalaran.
2. Pembelajaran Siklus II
Materi pembelajaran yang akan dipelajari pada pembelajaran siklus II adalah uang giral. Berdasarkan refleksi siklus I yang menjadi fokus pembelajaran pada siklus II adalah "Bagaimana pengembangan pendekatan konstruktivistik khususnya dalam mengungkapkan pikirannya untuk pembelajaran uang giral secara efektif dan menyenangkan".
Untuk menjawab permasalahan tadi dipilih alternative tindakan penerapan kembali pendekatan konstruktivistik. Dalam pembelajaran siklus II, perbaikan pembelajaran diutamakan pada pengertian uang giral.
Sebagaimana pembelajaran siklus I, dalam pembelajaran ini scenario pembelajaran diawali dengan tahap apresiasi. Tahap ini dilakukan dengan Tanya jawab tentang perbedaan uang kartal dan uang giral. Materi tersebut diharapkan sudah dikuasai oleh peserta didik. Selanjutnya peserta didik dijelaskan mengenai uang kartal dan uang giral melalui Tanya jawab.
Selama proses pembelajaran peneliti melakukan observasi yang ditujukan pada aktivitas dan antusiasme peserta didik. Akhir pembelajaran peserta didik diberi tugas menjawab soal-soal yang berkaitan dengan materi pembelajaran sebagai soal tes akhir. Sebagai hasil tes akhir pembelajaran siklus II data nilai ditunjukkan pada table 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4.2 data Nilai Tes Akhir Siklus II
No Subjek Tingkat Penguasaan Kategori Keterangan
1 1 100 SB Juntas
2 2 80 B Juntas
3 3 60 C Belum tuntas
4 4 100 SB Juntas
5 5 80 B Tuntas
6 6 100 SB Tuntas
7 7 40 K Belum Tuntas
8 8 80 B Tuntas
9 9 80 B Tuntas
10 10 100 SB Tuntas
11 11 80 B Tuntas
12 12 60 C Belum Tuntas
13 13 80 B Tuntas
14 14 80 B Tuntas
15 ! 15 100 SB Tuntas
Rata - rata 81
Hasil tes akhir pada pembelajaran siklus II adalah menunjukkan perolehan rerata nilai 8. jumlah peserta didik yang mendapat nilai > 70 sebanyak 12 orang atau 80%. Hal ini menunjukkan peningkatan ketuntasan belajar peserta didik pada pembelajaran siklus II ini sudah selesai, sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan.
Hasil observasi pada pembelajaran siklus II tingkat keaktifan dan keantusiasan peserta didik menunjukkan adanya peningkatan. Secara keseluruhan (100%) peserta didik tampak aktif dan antusias, keaktifan peserta didik ditunjukkan dengan berpartisipasi dalam pembelajaran antara lain menjawab soal- soal dan menjelaskan pengertian uang kartal dan uang giral. Keantusiasan peserta didik ditunjukkan dengan perasaan senang, bersemangat, ceria dan betah selama pembelajaran berlangsung.

B. Pembahasan
IPS merupakan salah satu bidang studi yang memiliki tujuan membekali siswa untuk mengembangkan penalarannya,yang banyak memuat materi sosial dan bersifat hafalan. Materi pelajaran dapat terus diingat peserta didik dengan melakukan pembelajaran melalui pengalaman secara langsung dan mengaktifkan siswa dalam proses belajar mengajar.
Ditinjau dari guru, hasil penelitian dapat mendukung tercapainya tujuan dan fungsi pembelajaran IPS. Dalam penerapan model pembelajaran konstruktivistik, peserta didik diberi kesempatan untuk mengungkapkan penalarannya melalui dialog kreatif, serta di beri pengalaman belajar yang di berikan ini telah membuat peserta didik lebih aktif menyenangkan dan merangsang motivasi perkembangan proses intelektual peserta didik.
Hasil pembelajaran menjadi lebih bermakna dan sejalan dengan model pembelajaran interaktif.
Sebagai fasilitator, bagi guru hal-hal tersebut di atas merupakan pengalaman baru untuk menyediakan pengalaman belajar yang menarik dan menyenangkan bagi peserta didik. Melalui pengalaman-pengalaman belajar seperti itu peserta didik menjadi termotivasi untuk mengetahui lebih jauh dan menemukan sesuatu, Di sisi lain guru seharusnya belajar karena perkembangan IPTEK terus berkembang.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil belajar peserta didik dapat ditingkatkan. Indikator mengenai hal ini adalah peningkatan. Indicator mengenai hal ini adalah peningkatan ketuntasan belajar peserta didik dari tes yang dilakukan pada akhir pembelajaran. Dengan mengacu pada hasil belajar tersebut, hasil penelitian menunjukan efisiensi pembelajaran dapat ditingkatkan. Indicator dalam hai ini, ialah adanya peningkatan pencapaian tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan adanya keterlibatan personalia dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran yang mendekati rasio standard an penggunaan sumber belajar lain. Jika dibandingkan dengan jumlah peserta didik yang dapat menggunakannya semakin meningkat, misalnya penggunaan LKS.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan daya tarik peserta didik terhadap pembelajaran meningkat. Hal ini di tandai dengan meningkatnya keaktifan peserta didik, rasa senang, bersemangat, antusias, betah di dalam kelas, motivasi belajar dan keinginan belajar lebih lama yang di tampakan pada peserta didik dengan demikian pendekatan konstruktivistik dapat mengaktifkan peserta didik, menyenangkan dan merangsang motivasi perkembangan intelektual mereka.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian adalah:
1. Ditinjau dari dimensi guru dan peserta didik proses pembelajaran dengan
pendekatan konstruktivistik dapat meningkatkan prestasi pembelajaran IPS
dengan baik.
2. Efektifitas dan kemenarikan penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam
meningkatkan prestasi pembelajaran IPS adalah baik.
3. Walaupun hasil observasi menunjukkan adanya sikap positif terhadap proses
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik, namun inisiatif dalam
bernalar peserta didik masih kurang karana peserta didik masih belum
merasakan pendekatan ini sebagai kebutuhan untuk menguasai materi
pembelajaran dengan baik.

Kesimpulan di atas hanya berlaku untuk kelas tindakan yakni kelas HI SDN Sumberagung I Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan. Dan belum tentu berlaku untuk kelas atau sekolah lain.

B. Saran-Saran
Saran-saran yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian adalah :
1. Penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam proses pembelajaran IPS
perlu digalakkan dan diperluas di kelas atau sekolah lain.
2. Dalam rangka menunjang upaya pencapaian tujuan penguasaan
pembelajaran IPS, penggunaan pendekatan konstruktivistik perlu
diterapkan di dalam proses belajar mengajar di kelas.
3. Dalam rangka peningkatan keprofesian guru dan perbaikan kualitas
pembelajaran IPS hasil penelitian ini perlu dikomunikasikan kepada teman
sejawat lain misalnya melalui KKG.

DAFTAR PUSTAKA

Rachmadi Nur Wahyu (1996), Laporan observasi pelaksanaan pembelajaran IPS di sekolah Dasar, Bandung : PPS IKIP Bandung.
Wahab, A.Azis (1986), Metodologi Pengajaran IPS, Jakarta : Penerbit karnika dan Universitas Terbuka.
Sumaatmadja, Nursid (1980), Metodologi Pengajaratj Ilnni Pengetahuan Sosial (IPS), Bandung: Alumni.
Sanusi, Achmad, (1997), Studi Sosial Indonesia, Bamaung : Badan Penerbit IKIP Bandung
Depdikbud, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD Tahun 2006 Kelas 2, Pasuruan : Depdikbid.
Winataputra, Udin.S, 2007, Materi Dan Pembelajaran IPS SD : Jakarta : Universitas Terbuka.
Kamarga, Hansiswany, (1994), Konsep IPS dalam Kurikulum Sekolah Dasar dan Implementasinya di sekolah, Tesis PPS; IKIP Bandung.

Artikel 02 : APLIKASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PENDIDIKAN DI TK / SD

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pancasila suatu bentuk pendidikan nilai dan moral di Indonesia. Secara konseptual pendidikan nilai atau value education akan pendidikan moral atau moral education memiliki konotasi dan cakupan yang berbeda. Pendidikan nilai lebih luas dari pada pendidikan moral, konsep nilai mencakup nilai religius, ekonomis, praktis, etis dan estetis. Pendidikan moral berkenaan dengan proses pendidikan nilai etis yaitu baik dan buruk. Pendidikan nilai dalam pendidikan Pancasila dalam pandangan Lickona (1992) disebut “educating for character” atau “pendidikan watak” mengartikan watak atau karakter sesuai dengan pandangan filosofis Michael Novale yakni compatible mix of all those virtues identifed bu religions traditions, literary stories, the sages and persons of commonsense down trough history artinya suatu perpaduan yang harmonis dari berbagai kebijakan yang tertuang dalam keagamaan, sastra, pandangan kaum cerdik pandai dan manusia pada umumnya sepanjang zaman. Oleh karena itu Lichona memandang karakter memiliki tiga unsur yang berkaitan dengan konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral.
Nilai dianggap bernilai atau berharga yang menjadi landasan, pedoman, pegangan dan semangat seseorang dalam melakukan sesuatu. Pancasila merupakan satu kesatuan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sebagaimana yang terkandung dalam lima silanya. Nilai-nilai yang terkristal dari agama dan budaya bangsa tersebut meruapkan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Terlepas salah satu nilai tersebut dari nilai-nilai lain tidak lagi bermakna Pancasila.
Aplikasi Pancasila dalam kehidupan artinya adalah praktik sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari baik lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Aplikasi Pancasila dalam kehidupan didukung oleh media yang memadai dalam bentuk tampilan nyata sikap dan perilaku. Aplikasi nilai moral Pancasila mengandung makan bahwa nilai-nilai orla Pancasila menjadi acuan dalam setiap kehidupan manusia.

1.2 Rumusan Masalah
a. Apa arti Pancasila sebagai nilai pada pendidikan TK/SD?
b. Mengapa aplikasi nilai Pancasila perlu dalam pendidikan TK/SD?
c. Bagaimana aplikasi nilai Pancasila dalam pendidikan di TK/SD?

1.3 Tujuan
a. Mengerti arti Pancasila sebagai nilai pada pendidikan
b. Mengaplikasikan nilai Pancasila dalam pendidikan
c. Supaya aplikasi nilai Pancasila dapat terwujud dalam pendidikan

2. Bahasan
2.1 Pengertian
Pendidikan nilai Pancasila dalam pandangan Lichkona (1992) disebut pendidikan watak. Oleh karena itu Lichona memandang karakter atau watak itu memiliki tiga unsur yang saling berkaitan yakni konsep moral, rasa dan sikap moral dan perilaku moral. Ketiga aspek tersebut harus menyentuh seperti berikut: konsep moral (kesadaran, pemahaman, manfaat tenggang rasa), sikap moral (kata hati, rasa percaya diri, empati, pengendalian diri terhadap orang lain) perilaku moral (kemampuan, kemauan, kebiasaan, menenggang rasa orang lain). Pendidikan nilai dan moral dikaitkan dengan konsep pendidikan watak hal-hal yang perlu dipahami:
a. Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran yang memiliki aspek utama sebagai pendidikan nilai dan moral pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan watak atau karakter anak didik SD dengan dan merujuk pada nilai-nilai dan moral Pancasila.
b. Nilai dan moral Pancasila dan UUD 45 dapat dikembangkan dalam diri anak didik dari TK dan SD melalui pengembangan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral setiap rumusan butir nilai yang dipilih sebagai materi pendidikan moral Pancasila.
Oleh karena itu pendidikan Pancasila dapat dikatakan sebagai program pembelajaran nilai dan moral dan UUD 45 yang bermuara pada watak Pancasila dan UUD 45 dalam diri anak didik. Pendidikan nilai tidak bisa diajarkan atau ditangkap sendiri tetapi harus dialami melalui proses belajar. Pendidikan nilai berfungsi untuk melandasi, mengarahkan, mengendalikan dan menentukan kelakuan seseorang yang berlandaskan nilai biasa tapi bersifat mekanis atau behavior (perilaku nyata)

2.2 Nilai Dianggap Berharga
Nilai Dianggap Berharga karena menjadi landasan, pedoman, pegangan dan semangat seseorang dalam melakukan sesuatu. Penanaman dan membiasakan sikap yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sangat perlu dari usia dini dalam rangka pembinaan dan pembentukan pribadi. Mengapa hal itu perlu, karena lebih strategis bila diawali dari pendidikan dasar. Nilai tersebut seperti tenggang rasa, tanggung jawab, pengendalian diri dan lain sebagainya.
Mengapa penanaman nilai dalam rangka pembentukan sikap perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena kecerdasan yang tinggi tanpa dibarengi moralitas yang baik mungkin akan berbahaya bagi diri dan umat manusia (Djahiri, 1995). Untuk memahami nilai-nilai Pancasila dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Pada diri manusia harus ada kemampuan untuk pengetahuan perbuatan harus dilakukan, rasa yang menguji dengan hasratnya sendiri. Nilai Pancasila lebih diarahkan pada keterlibatan anak didik dalam memahami konsep.

2.3 Aplikasi Nilai-Nilai Pancasila
Aplikasi Nilai-Nilai Pancasila adalah praktik sikap dan perilaku manusia yang sesuai. Pancasila merupakan satu kesatuan nilai-nilai ketuhanan (agama). Kesadaran manusia sebagai ciptaan Tuhan ini melahirkan kesadaran bahwa manusia adalah hamba (abdi) Tuhan. Mengandung konsekuensi keharusan manusia untuk taat dan patuh pada ciptaannya. Kemanusiaan, manusia tidak terlepas dari harkat dan martabatnya sebagai makhluk yang berakal. Keberakalan identik dengan keberontakan dan keberpikiran manusia. Persatuan mengandung makna persatuan dan kesatuan ideologis (Pancasila), politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Kesatuan dan persatuan bangsa dibangun berdasarkan solidaritas sosial diperlukan adanya kerelaan berkorban kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat adalah demokrasi yang mengedepankan musyawarah.